Perlunya litbang teknologi nano yang berkelanjutan
Teknologi nano disebut-sebut sebagai salah satu bentuk revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi terbesar abad ke-21 ini. Perkembangan teknologi ini semakin meluas tidak hanya di negara-negara maju tapi juga negara sedang berkembang seperti Indonesia. Salah satu alasan makin meluasnya penelitian dan pengembangan teknologi ini dilakukan di seluruh dunia adalah potensi penggunaan dan komersialisasi teknologi yang sangat besar. Dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi aplikasi teknologi nano diperkirakan sudah sampai kepada pengguna, seperti material memori komputer terbaru, teknologi penyaji (display) nir-kertas, perangkat diagnosa medis dan sensor serta material dasar perekat, cat atau pun pelumas serta masih banyak lagi.
Bersamaan dengan itu, di beberapa negara yang telah mengembangkan teknologi ini telah mulai menelaah dampak lingkungan teknologi nano. Mengingat masih belum ada kejelasan seberapa besar resiko penggunaan teknologi nano ini terhadap lingkungan maupun manusia penggunanya, meskipun diperkirakan produksi teknologi ini di dunia tidak melebihi 1 ton [1]. Tambah lagi belum ada kejelasan aturan main dan peraturan untuk mengkalkulasi dampak lingkungan teknologi nano ini.
Tulisan ini mencoba mengulas resiko paparan produk penelitian dan pengembangan teknologi nano dalam bentuk material nano khususnya terhadap manusia. Dengan memperhatikan kedua sisi teknologi nano antara manfaat dan potensi resiko, maka siapapun pelaku litbang, diharapkan akan mampu mengelola teknologi ini secara berkelanjutan dan paripurna. Gbr. 1 memperlihatkan bahwa proses pencegahan dampak lingkungan yang diakibatkan oleh teknologi selayaknya dilakukan pada tahapan yang dini, yaitu tahap litbang. Dengan penguasaan pengetahuan di tahap awal diharapkan akan memberikan arah yang lebih aman dan ramah lingkungan pada proses selanjutnya. Dengan demikian permasalahan yang berpotensi muncul pada tahap produksi, penggunaan dan pembuangan dapat ditekan.
1. Material nano
Material nano adalah material yang memiliki komponen terstruktur dengan salah satu dimensinya berukuran kurang dari 100 nm. Pengertian ini dapat dikategorikan lagi menurut bentuk akhir material tersebut. Dalam hal ini, lapisan tipis atau pelapis permukaan, kawat dan tabung nano digolongkan sebagai material nano dua dimensi. Sedangkan, presipitat, endapan dan koloid dan partikel kuantum (partikel sangat kecil semikonduktor) termasuk dalam material nano tiga dimensi.
Dengan makin kecilnya ukuran material, terdapat dua faktor yang menyebabkan sifat material nano berbeda dengan material ukuran lainnya, yaitu: peningkatan luas permukaan dan efek kuantum. Populasi atom pada permukaan dibandingkan di dalam partikel pun mengalami perubahan. Sebagai misal, sebuah partikel dengan ukuran 30 nm maka populasi atom-atom yang berada di permukaan adalah 5%, jika partikel berukuran 10 nm maka perbandingan tersebut menjadi 20% dan jika suatu partikel berukuran 3 nm maka 50% dari atom-atomnya berada di permukaan. Hal ini menggambarkan bahwa dengan makin kecilnya ukuran sebuah partikel, luas permukaan per satuan massa akan meningkat.
Mengingat pertumbuhan partikel dan reaksi kimia umumnya berada di permukaan partikel, dengan makin meningkatnya luas permukaan per satuan massa maka reaktivitas partikel tersebut juga akan bertambah besar dibandingkan partikel sejenis yang berukuran lebih besar. Efek kuantum mulai berperan besar dalam mempengaruhi sifat material seiiring dengan mengecilnya ukuran partikel ke skala nano. Beberapa sifat material yang dipengaruhi efek kuantum antara lain adalah sifat optik, kelistrikan dan magnetik. Perubahan sifat dan perilaku material akibat efek kuantum ini dimanfaatkan dalam penggunaan material nano untuk semikonduktor (quantum dot) atau opto elektronika (quantum well laser).
Material nano dapat dibedakan menurut proses pembentukannya, yaitu material nano alami dan buatan manusia atau dihasilkan sebagai bagian proses yang dilakukan manusia (antropogenik), seperti diperlihatkan Tabel 1. Dari jenis material yang diperlihatkan, umumnya interaksi manusia dengan partikel nano tidak hanya didominasi penduduk kota besar. Bahkan penduduk pedesaan dan pegunungan pun bisa saja berinteraksi dengan partikel nano. Proses interaksi atau kontak antara partikel nano dengan manusia menjadi perhatian para ilmuwan saat ini dalam kaitan resiko akibat paparan partikel nano. Seperti dikemukakan pada bagian sebelumnya, reaktivitas partikel makin meningkat dengan makin kecilnya ukuran partikel pada skala nano. Dengan demikian rute paparan, potensi akumulasi partikel nano pada tubuh manusia melalui bagian tubuh yang berhubungan langsung dengan lingkungan menjadi perhatian akan potensi toksik material nano.
Seberapa besar potensi bahaya material nano dapat diukur melalui seberapa toksik atau beracunnya material tersebut. Yang tentu menjadi pertanyaan adalah apakah ukuran material pada skala nano berpengaruh terhadap tingkat toksisitasnya. Beberapa kajian menunjukkan bahwa tingkat keberacunan partikel nano ditentukan oleh beberapa faktor berikut:
– total luas permukaan partikel terhadap organ tujuan;
– reaktivitas kimia permukaan, termasuk komponen yang terdapat di permukaan seperti logam dan pelapis serta kemampuannya terlibat dalam reaksi yang melepaskan radikal bebas;
– dimensi fisika partikel yang memungkinkan terpenetrasi dalam organ atau sel dan menyulitkan pembuangannya;
– kelarutannya, seperti garam-garaman yang mudah terlarut sebelum terjadi reaksi beracun
(Download artikel selengkapnya)
Betul sekali, bangsa kita sudah saatnya memiliki lab. nanoteknologi karena sudah banyak tenaga peneliti-peneliti yang sudah dapat diandalkan.
Tuliskan komentar anda!
You must be logged in to post a comment.